Perjanjian Kerja
Oleh: Wahyu
Purhantara
Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian
antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja
hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada
dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan
kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.Menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara
seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di
peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”)
yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).
(Subekti, 1977, p.63).
Perjanjian kerja yang didasarkan
pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan; demikian juga mengenai
jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lalu Husni, p. 55.). Bagi perjanjian kerja tidak
dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan
surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan
bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan
lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara
lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat
sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Persyaratan
Penjanjian
Sebagai bagian dari perjanjian
pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per).
Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja
dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan
kedua belah pihak;
2. Kemampuan
atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya
pekerjaan yang dijanjkan;
4. Pekerjaan
yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Kata sepakat berarti se-ia se-kata dalam menentukan suatu hal, dimana antara pengusaha dan karyawan telah terjadi pertemuan pandangan (meeting of the minds). Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Contoh kesepakatan misalnya pengusaha menawarkan gaji pokok Rp. 3.000.000 perbulan dan calon karyawan menyetujuinya, maka diantara mereka telah terjadi kata sepakat.
- Syarat cakap berkaitan erat dengan kapasitas seseorang dalam melakukan tindakan hukum. Anak berumur sepuluh tahun tentu saja tidak sah menandatangani suatu perjanjian kerja, karena secara hukum anak dibawah umur dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
- Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
- Pekerjaan yang dijanjikan harus bersendikan pada ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan istilah yang gampang yakni pekerjaan suatu sebab yang halal. Dengan demikian, ini dapat diartikan bahwa perjanjian itu bukan sesuatu yang dilarang oleh hukum, tidak tercela secara kesusilaan, atau tidak mengganggu ketenangan umum – siapapun tentu tak ingin menandatangani perjanjian kerja sebagai pengedar narkoba, kan?
Keempat syarat tersebut bersifat
kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian
tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata
disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat
perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan
yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena
menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka
akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak
memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali
atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta
pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
Referensi:
Subekti, 1977, Aneka Perjanjian, Bandung: Penerbit
Alumni, 1977)
http://www.hukumtenagakerja.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar