Shiroh Ibnu Abbas ra
Oleh: Wahyu Purhantara
Ibnu Abbas merupakan salah satu
sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan
melalui Ibnu Abbas, serta beliau juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani
Abbasiyah.`Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah
tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan
ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari
Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu,
beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal
silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu Abbas r.a., ia adalah pribadi yang istimewa. Sejak
kecil ia sudah membersamai Sang Nabi Saw. Ketika ia masih belia, pernah suatu
saat di akhir malam ia sholat di belakang Nabi Saw. Lalu Nabi Saw menarik
tangannya agar berdiri di dekatnya. Tapi setelah Nabi Saw kembali khusyuk dalam
sholatnya, ia kembali mundur ke belakang. Usai sholat, Nabi Saw bertanya
kepadanya, “Mengapa engkau mundur padahal aku menyuruhmu berdiri di dekatku?”
“Apakah patut seseorang sholat di dekatmu, sementara engkau adalah Rasulullah
yang mulia?”, jawab Ibnu Abbas r.a.
Di tengah-tengah para sahabat, yang dikenal sebagai generasi
terbaik, paling baik pemahamannya terhadap Kitabullah, terdapat
pribadi-pribadi istimewa yang dianugerahi akal fikiran yang mengagumkan.
Di antara mereka ada yang telah mencapai puncak kematangan intelektual.
Mereka hadir sebagai sosok yang memiliki kecemerlangan berpikir. Salah satunya
adalah Ibnu Abbas r.a., putra dari Abbas, paman sang Nabi Saw.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air
untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjamaah bersama Nabi. Apabila Nabi
melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap
menghadiri majlis-majlis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau
banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan
Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendoakan beliau.
Nabi Saw kagum dan takjub dengan jawaban Ibnu Abbas r.a.
Lalu dengan tulus Nabi Saw berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia
pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarilah ia takwil”. Bila Nabi Saw
telah berdo’a, adakah ia tak diijabah oleh Allah Swt? Jika Nabi Saw memanjatkan
pintanya, meminta kebaikan untuk seorang hamba, adakah yang lebih membahagiakan
dari pada hal itu? Aduhai, sungguh beruntung Ibnu Abbas r.a.
Usia Ibnu `Abbas baru menjangkau 15
atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu
tidaklah usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal
Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua.
Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits
yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:
“Aku pergi menemuinya sewaktu dia
tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu
ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku
ingin, aku mampu saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan
mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam
keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan
itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau
engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku
berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari,
bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang
diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu,
baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah
kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan
kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’.
Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan
permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat
Ibnu `Abbas berbanding pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang
cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian
membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau
menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk
menunjuk kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya
suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang,
baik yang dikenal maupun tidak.
Setelah do’a Sang Nabi terucap, seakan-akan setelah hari itu
kecerdasan hanyalah milik Ibnu Abbas. Ia menjadi ukuran kecerdasan di antara
anak-anak seusianya. Tidak, lebih dari itu. Orang-orang dewasa pun menjadikan
ia sebagai marja’ (rujukan). Pernah suatu ketika, ‘Umar bin
Khaththab r.a. mengajak Ibnu Abbas r.a. ke sebuah majelis yang dihadiri
orang-orang dewasa. “Mengapa anak kecil ini engkau bawa kemari wahai umar?”,
kata salah seorang di dalam majelis tersebut. Bukannya menjawab pertanyaan
tersebut, Umar malah menyampaikan firman Allah, “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An
Nashr: 1-3). “Bagaimana penafsiran ayat ini menurut kalian?”, tanya Umar.
Di antara mereka ada yang menjawab, “Kita diperintahkan
untuk memuji Allah dan bertaubat kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan
kemenangan”. Sebagian lagi menjawab, “Kami tidak tahu”. Lalu Umar melirik Ibnu
Abbas sambil bertanya, “Beginikah penafsiranmu tentang ayat ini?” “Tidak”,
jawab Ibnu Abbas. “Surat tersebut adalah pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sudah dekat. Allah memberitahunya dengan ayatnya:
“Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan
Makkah dan itulah tanda ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan
memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat”,
tutur Ibnu Abbas. “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti
yang engkau ketahui“, kata Umar.” [1]
Umar tahu betul kecerdasan Ibnu Abbas. Itulah sebabnya ia
perlihatkan kecemerlangan berpikir Ibnu Abbas di hadapan orang-orang dewasa.
Ibnu Abbas r.a. tumbuh menjadi pribadi yang istimewa. Ia bisa menangkap
isyarat-isyarat makna Al-Qur’an, ia mengerti berkenaan tentang apa suatu ayat
diturunkan, dan ia sangat paham penunjukan makna dalam bahasa Al-Qur’an.
Seperti pengakuan Ubaidullah bin Utbah suatu saat. Ia pernah bertutur tentang
Ibnu Abbas r.a., “Tidak ada yang tahu syair dan bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an,
hisab dan faraidh kecuali Ibnu Abbas.”
***
Ketika pemberontakan Khawarij pecah di Haruriyah, Ibnu Abbas
r.a. meminta izin kepada Ali r.a. untuk pergi menemui kaum Khawarij dan
mengajak mereka berdialog. Setelah Ali r.a. mengizinkannya, maka berangkatlah
Ibnu Abbas. Ia sampai di Haruriyah tepat tengah hari, saat dimana mereka sedang
tidur siang. “Selamat datang wahai Ibnu Abbas”, sambut salah satu dari mereka.
“Apa yang membawamu kemari?”, tanya mereka. “Ceritakanlah kepadaku, apa yang
membuat kalian dendam terhadap putra paman Nabi Saw dan sahabatnya (Ali)?”,
tanya Ibnu Abbas.
“Sebabnya karena tiga hal”, jawab orang-orang Khawarij.
“Pertama, Ali menghukum manusia tidak menggunakan hukum Allah, padahal Allah
Swt berfirman, “Inil hukmu illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali
kepunyaan Allah).” [2]
“Yang kedua,” lanjut mereka, “dia berperang tetapi tidak
mengambil tawanan dan ghanimah. Kalau mereka kafir seharusnya ia mengambilnya
dari mereka, tetapi kalau mereka mukmin seharusnya mereka tidak boleh
diperangi”. [3]
“Ketiga, dia menghilangkan sebutan Amirul Mukminin dari
dirinya, kalau demikian dia adalah Amirul Kafirin”.
“Apakah ada yang lain?”, selidik Ibnu Abbas r.a. “Tidak ada,
cukup tiga saja”, jawab mereka. Dengan tenang dan tawadhu’ Ibnu Abbas bertanya
kepada mereka, “Jika aku jawab persoalan ini dengan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi
Saw, apakah kalian mau menerima?” “Tentu saja”, jawab mereka. Begitu cerdas
Ibnu Abbas, ia tahu siapa yang dihadapi. Orang-orang Khawarij, sebagian besar
mereka adalah para qurra’ (penghafal Al-Qur’an). Untuk menghadapi
para qurra’ ini, Ibnu Abbas mengerti betul caranya. Satu-satunya
jalan untuk mematahkan argumentasi mereka adalah dengan mengemukakan dalil
Al-Qur’an.
“Tentang masalah pertama”, terang Ibnu Abbas, “Allah Swt
berfirman: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam [juru damai] dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (TQS. An-Nisa: 35)”.
“Sekarang aku bertanya kepada kalian, mana yang lebih layak
dan utama, mendamaikan permasalahan antara suami istri, atau berkenaan dengan
pertumpahan darah orang banyak?”, tanya Ibnu Abbas retoris. “Tentu saja yang
berkenaan dengan pertumpahan orang banyak”, jawab mereka. Di sinilah letak
kecerdasan seorang Ibnu Abbas. Ia meluruskan pemahaman kaum Khawarij yang hanya
berpegang pada teks (manthuq)-nya saja dalam memahami ayat Allah Swt
tanpa memperhatikan mafhum (pemahaman dan maksud)-nya.
Artinya, jika Allah memerintahkan untuk bertahkim dalam perselisihan rumah
tangga, bukankah lebih utama lagi jika bertahkim dalam urusan yang melibatkan
banyak orang? Jadi Ibnu Abbas r.a. hendak menunjukkan bahwa Ali r.a. telah
mengambil langkah yang tepat. Sekaligus menunjukkan betapa cerdasnya Ali
menangkap setiap mafhum dari ayat-ayat Allah.
“Masalah yang kedua”, lanjut Ibnu Abbas, “Ali berperang
tetapi tidak mengambil tawanan dan ghanimah. Maka aku jawab, apakah kalian akan
menawan ‘Aisyah r.a. sebagai ummul mukminin, ibunya orang-orang mukmin?
Bukankah Nabi Saw telah bersabda, “Dan istri-istrinya adalah ibu mereka
(orang-orang mukmin)”?
“Mengenai persoalan yang ketiga”, kata Ibnu Abbas, “Ali
memang menghapus sebutan Amirul Mukminin saat peristiwa tahkim karena
permintaan Mu’awiyah. Tetapi ingatkah kalian bahwa sesungguhnya Nabi Saw pada
perjanjian Hudaibiyah juga menanggalkan sebutan “Rasulullah” atas permintaan
orang-orang Musyrik?”, tutur Ibnu Abbas. “Meski demikian Rasulullah tetaplah
Rasulullah, dan beliau lebih baik dari pada Ali. Demikian juga Ali, ia tetaplah
Amirul Mukminin.” [4]
Sesaat kemudian, orang-orang Khawarij bungkam. Mereka
menemukan kebenaran dalam setiap argumen Ibnu Abbas r.a. Ia berpikir dengan
sangat brilian. Sedikit sekali sahabat Nabi Saw secemerlang Ibnu Abbas r.a.
4000 orang-orang Khawarij bertaubat.[5] Mereka kembali kepada kebenaran setelah
berhadapan dengan sepupu Sang Nabi tersebut.
Ibnu Abbas telah mengajari kepada kita bagaimana seharusnya
seorang mukmin berpikir, memupuk pemahaman, dan menyampaikan argumentasi.
Pernah suatu ketika ia ditanya cara mendapatkan ilmu. Dengan begitu meyakinkan
beliau menjawab, “Dengan lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak paham”.
Sederhana memang. Tetapi itulah kuncinya. Kecemerlangan berpikir dan hebatnya
argumentasi tidak datang dengan sendirinya, ia harus diusahakan. Kematangan
intelektual pun tidak lahir dengan begitu saja, ia didapat setelah berlelah-lelah
dalam ber-tafaqquh. Jika ingin memahami agama ini dengan baik, maka
tirulah kepada Ibnu Abbas r.a., belajarlah kepada sepupu Nabi yang satu ini.[]
Saat ditanya, “Bagaimana Anda
mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya
dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas
membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang
yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an,
fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di
sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau
sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis
ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu,
pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki
posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur
tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga
perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia
mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut);
Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi
sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan
dosa.”
`Abdullah bin Abbas meriwayatkan
sekitar 1.660 hadith. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadith
sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if,
Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan
penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin
bersama `Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Abbas juga adalah seorang yang
istiqamah dalam amalnya.Beliau kerap berjaga malam untuk beribadah dan juga
selalu menangis apabila sedang solat dan membaca al-Quran. Pada akhir masa
hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat
pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan
besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama. . Jenazahnya disembahyangkan
oleh Muhammad bin Hanafiah bin Ali bin Abi Talib.
Catatan
Kaki:
[1]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, hadits no. 4294
[2]
Yang dimaksud adalah peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.
[3]
Perang yang dimaksud oleh orang-orang Khawarij ini adalah Perang Jamal yang
terjadi antara kubu Ali r.a. dan kubu ‘Aisyah r.a.
[4] Kecerdasan
Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa, Syeikh Ahmad Khubairi, hlm. 177-178.
[5] Al-Bidayah
wa An-Nihayah, Ibnu Katsir VIII/278.