JENIS-JENIS
PHK
Oleh: Wahyu Purhantara
PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan
menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan
tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian
kepada perusahaan maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang
tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut.
Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana
pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran
yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi
pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia
harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama
melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya
perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih
separuh hidupnya. Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak
nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera
untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah
selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit
lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri.
Karyawan dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis
tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri,
seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain.
Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan
permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c)
tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya
untuk mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang
diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak
sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun
perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain
perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan
harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan karyawan
juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak
atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta
pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin
mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan
terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah
karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan
penghargaan masa kerja.
PHK Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh
lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya
tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside
stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa
perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga
kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain
ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal
dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada
gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada
kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan
hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:
a. Termination : yaitu putusnya
hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah
disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara
karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b.Dismissal : yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan
melakukan. Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya :
karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau
obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan
kerja milik pabrik.
c. Redundancy : yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan
melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru,
seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan
alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk
menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga
kerja.
d. Retrenchment : yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga
perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di
luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
a.Layoff : keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika
seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus
dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
b.Outplacement : ialah kegiatan
pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga
kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada
umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang
performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah
melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang
memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan
yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini
ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih
dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap
keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
c. Discharge : Kegiatan ini
merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara
beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan
berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku
kerja yang memuaskan.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja
ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru
di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya
masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan
perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak
manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan
kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya
menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan
untuk efisiensi tenaga kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar