PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA (PHK)
Oleh:
Wahyu Purhantara
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan
perusahaan. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah
pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya,
selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik
definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,
dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama
dengan pengertian dipecat.
Menurut Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja
(separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan
karyawan pada umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh
karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tertentu yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja.
Menurut Hasibuan (2001: 205), pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja
seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya,
PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua
PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik
karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau
karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
Tulus (1993:167) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan
kerja terjadi kalau salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa rugi
bilamana hubungan kerja tersebut dilanjutkan.
Pemutusan hubungan kerja
dapat terjadi karena:
1. kemauan karyawan,
1. kemauan karyawan,
2. kemauan perusahaan, atau
3. kemauan kedua belah pihak.
3. kemauan kedua belah pihak.
Alasan pemutusan hubungan
kerja antara lain:
1. ketidakjujuran,
2. ketidakmampuan bekerja,
3. malas,
4. pemabok,
5. ketidakpatuhan,
6. kemangkiran, dan ketidakdisiplinan,
7. usia lanjut,
8. sakit-sakitan terus menerus,
9. kemunduran perusahaan,
dan sebagainya.
dan sebagainya.
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
dilingkungan kerja;
4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan
kerja;
5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan
berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1. pekerja/buruh tertangkap tangan;
2. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak
yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada
2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Beberapa alasan Pemutusan Hubungan Kerja :
•
Undang-Undang
•
Keinginan perusahaan
•
Keinginan karyawan
•
Pensiun
•
Kontrak kerja berakhir
•
Kesehatan karyawan
•
Meninggal dunia
•
Perusahaan dilikuidasi.
Ad.1.: Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus
diberhentikan dari suatu perusahaan, misalnya karyawan anak-anak, karyawan WNA,
atau karyawan yang terlibat organisasi terlarang.
Ad.2.: Keinginan
Perusahaan:
- karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.
- perilaku dan disiplinnya kurang baik
- melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan
- tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain
- melakukan tindakan amoral dalam perusahaan
Ad.3.: Keinginan karyawan
Pemberhentian atas
keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari
perusahaan tersebut. Pada umumnya karyawan mengajukan permohonan berhenti karena
beberapa alasan, antara lain:
- Pindah ke tempat lain
- Kesehatan yang kurang baik
- Untuk melanjutkan pendidikan
- Berwiraswasta
- Turnover karyawan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. jika banyak karyawan berhenti atas keinginan sendiri, maka manajemen perusahaan dapat dikatakan kurang baik dan perlu dilakukan instrospeksi diri dari manajer. (Hasibuan, 2001: 208-209).
Ad.4.: Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan
perusahaan, undang-undang, ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan
perusahaan mempesiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai
akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dsb.
Ad.5.: Kontrak kerja berakhir
Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja
tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam
perjanjian saat mereka diterima.
Ad.6.: Kesehatan karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk
pemberhentian karyawan. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan
perusahaan ataupun keinginan karyawan.
Ad.7.: Meninggal dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus
hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang
pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan pearturan yang ada.
Ad.8.: Perusahaan dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau
ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku, sedangkan karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon
sesuai dengan ketentuan pemerintah (Hasibuan, 2001: 2007-2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar