Translate

Minggu, 09 Juni 2013

Hubungan Industrial, PHK-1



PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
                                                       Oleh: Wahyu Purhantara            

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Menurut Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja. Menurut Hasibuan (2001: 205), pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
Tulus (1993:167) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja terjadi kalau salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa rugi bilamana hubungan kerja tersebut dilanjutkan.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:
1. kemauan karyawan,
2. kemauan perusahaan, atau
3. kemauan kedua belah pihak.
Alasan pemutusan hubungan kerja antara lain:
1.  ketidakjujuran,
2.  ketidakmampuan bekerja,
3.  malas,
4.  pemabok,
5.  ketidakpatuhan,
6.  kemangkiran, dan ketidakdisiplinan,
7.  usia lanjut,
8.  sakit-sakitan terus menerus,
9.  kemunduran perusahaan,
dan sebagainya.
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1.  melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
2.  memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3.  mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja;
4.  melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
5.  menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6.  membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
7.  dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
8.  dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9.  membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1.  pekerja/buruh tertangkap tangan;
2.  ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3.  bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.

Beberapa alasan Pemutusan Hubungan Kerja :
         Undang-Undang
         Keinginan perusahaan
         Keinginan karyawan
         Pensiun
         Kontrak kerja berakhir
         Kesehatan karyawan
         Meninggal dunia
         Perusahaan dilikuidasi.

Ad.1.: Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan, misalnya karyawan anak-anak, karyawan WNA, atau karyawan yang terlibat organisasi terlarang.
Ad.2.: Keinginan Perusahaan:

  • karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya. 
  •  perilaku dan disiplinnya kurang baik 
  • melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan 
  • tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain 
  • melakukan tindakan amoral dalam perusahaan
Ad.3.: Keinginan karyawan
Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Pada umumnya karyawan mengajukan permohonan berhenti karena beberapa alasan, antara lain:
  • Pindah ke tempat lain 
  • Kesehatan yang kurang baik 
  • Untuk melanjutkan pendidikan 
  • Berwiraswasta 
  • Turnover karyawan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. jika banyak karyawan berhenti atas keinginan sendiri, maka manajemen perusahaan dapat dikatakan kurang baik dan perlu dilakukan instrospeksi diri dari manajer. (Hasibuan, 2001: 208-209).
 Ad.4.: Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang, ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempesiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dsb.
Ad.5.: Kontrak kerja berakhir
Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.
Ad.6.: Kesehatan karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.
Ad.7.: Meninggal dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan pearturan yang ada.
Ad.8.: Perusahaan dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan pemerintah (Hasibuan, 2001: 2007-2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar