Translate

Senin, 20 Mei 2013

Hubungan Industrial, Mogok Kerja



MOGOK KERJA
Oleh:  Wahyu Purhantara

Pemogokan adalah tindakan pekerja secara bersama-sama untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan mereka sehubungan dengan perselisihan hubungan industrial. Definisi Mogok Kerja berdasarkan UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimuat dalam pasal 1 angka 23 yaitu sebagai berikut : “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Mogok Kerja hanya dapat dilakukan oleh pekerja dan harus direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama serta dilakukan oleh lebih dari satu orang. Pemogakan dapat meliputi penghentian kerja total, aksi duduk, perlambatan (slow-down), dan larangan lembur. Tujuan Mogok Kerja adalah untuk memaksa perusahaan/majikan mendengarkan dan  menerima tuntutan pekerja dan/atau serikat pekerja, caranya adalah dengan  membuat perusahaan merasakan akibat dari proses produksi yang terhenti atau melambat. Pemogokan kadang digunakan pula guna  menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan. Kadang, pemogokan dapat mengguncang stabilitas kekuasaan partai politik tertentu. Suatu contoh terkemuka adalah pemogokan galangan kapal Gdańsk yang dipimpin oleh Lech Wałęsa. Pemogokan ini bernilai penting dalam perubahan politik di Polandia, dan merupakan suatu upaya mobilisasi yang penting yang memiliki kontribusi terhadap runtuhnya pemerintahan komunis di Eropa Timur.
Dengan demikian, mogok kerja atau pemogokan adalah peristiwa di mana sejumlah besar karyawan perusahaan berhenti bekerja sebagai bentuk protes. Jika tidak tercapai persetujuan antara mereka dengan majikan mereka, maka mogok kerja dapat terus berlangsung hingga tuntutan para karyawan terpenuhi atau setidaknya tercapai sebuah kesepakatan.
Mogok kerja dapat mengakibatkan kerugian yang besar terutama jika dilakukan oleh karyawan yang bekerja dalam industri yang berpengaruh besar pada masyarakat, seperti perdagangan atau pelayanan publik. Walaupun demikian, dalam UU Tenaga Kerja di banyak negara, termasuk Indonesia, mogok kerja merupakan hak setiap karyawan.
Strategi pemogokan memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada akhir dinasti ke-20 Mesir Kuno, pada kekuasaan Firaun Ramses III di abad ke-12 SM, para pekerja mengorganisasikan suatu pemogokan yang pertama kali dikenal dalam sejarah. Peristiwa ini dilaporkan secara mendetil dalam suatu papirus pada saat itu yang berhasil diselamatkan dan disimpan di Turin. Pada era modern, pada tahun 1768, para pelaut yang mendukung demonstrasi di London, "merusak" layar kapal dagang yang berada di pelabuhan, sehingga melumpuhkan kapal-kapal tersebut.
Di Indonesia, pemogokan kerja pernah terjadi pada 25 November 2010, Forum Buruh DKI Jakarta yang terdiri dari gabungan sejumlah serikat pekerja antara lain, ASPEK Indonesia, FSPMI, FSBI, SPN, GSBI, KSBSI, dan SBSI 92 melakukan aksi mogok kerja massal di Kawasan Berikat Indonesia, Cakung, Cilincing, Jakarta Utara. Mereka menuntut kenaikan Upah Minimum Propinsi DKI Jakarta sesuai dengan jumlah capaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 1.401.289.

Dasar hukum dan Sanksi Mogok Kerja di Indonesia
Mogok Kerja yang merupakan hak dari pekerja, namun tidak sedikit para pekerja tidak mengerti dasar hukum yang melaglkan aksi mogok kerja. Untuk itu pekerja harus memperhatikan beberapa peraturan perundangan, diantaranya :
1.   Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).
2.   Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 368.Kp.02.03.2002 Tahun 2002 Tentang Prosedur Mogok Kerja Dan Penutupan Perusahaan (Lock Out) (SE Menakertrans 368).
3.   Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 232/men/2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah (Kepmen 232).

1.   Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK)
(1)   Pasal 139 UUK
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. (Pasal 139 UUK)
(2)   Pasal 140 UUK
1.   Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
2.   Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.  waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.  tempat mogok kerja;
c.  alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.  tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
3.   Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
4.   Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.  melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b.  bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan

2.   SE Menakertrans 368
(1)  Dalam hal pekerja/buruh hendak melakukan mogok kerja atau pengusaha hendak mengadakan penutupan perusahaan (lock out), maka maksud tersebut harus diberitahukan dengan surat kepada pihak lainnya dan kepada Ketua Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4-D).
(2)   Dalam surat tersebut harus menerangkan dengan disertai bukti-bukti bahwa:
a. telah diadakan perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan dengan pihak lainnya yang diketua atau diperantarai oleh pegawai perantara atau;
b. pihak lainnya menolak untuk mengadakan perundingan atau;
c.  pihak yang hendak melakukan tindakan telah 2 (dua) kali dalam jangka waktu 2 (dua) minggu tidak berhasil mengajak pihak lainnya untuk berunding mengenai hal-hal yang diperselisihkan;
(3)  Surat pemberitahuan rencana pemogokan pekerja dimaksud harus memuat:
a. nama dan alamat penanggung jawab pemogokan;
b.  jumlah pekerja yang akan melakukan pemogokan;
c.  hal yang diperselisihkan dan tuntutan;
d. hari, tanggal, jam dan lamanya pemogokan.

3.   Kepmen 232
(1)melakukan mogok yang tidak sah (lihat Pasal 142 jo Pasal 139 dan Pasal 140 UUK). Kepmen 232 mengatur akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah yaitu
a.   Pasal 6
1.   Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir.
2.   Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.
3.   Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri.
b.     Pasal 7
1.   Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikualifikasikan sebagai mangkir.
2.   Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
4.   Sanksi hukum bagi pekerja/buruh yang melakukan mogok yang tidak sah diatur dalam Pasal 186 UUK yaitu kurungan paling singkat satu bulan dan paling lama empat tahun. Ada pula denda paling sedikit Rp10 Juta, paling banyak Rp400 Juta.
5.   menghalang-halangi pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melakukan mogok kerja yang sah (Pasal 143 ayat [1] UUK) atau menangkap/menahan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah (Pasal 143 ayat [2] UUK). Sanksi atas pelanggaran Pasal 143 UUK tersebut adalah pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta (lihat Pasal 185 ayat [1] UUK).
Dari  landasan hukum tersebut di atas, kita dapat mengetahui bahwa Mogok kerja merupakan hak dasar yang dimiliki oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh sebagai akibat gagalnya suatu perundingan yaitu tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada  pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.
Mogok kerja yang dibenarkan dalam UU Ketenagakerjaan adalah mogok yang dilakukan secara sah, tertib dan damai serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Dalam waktu sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Model Mogok Kerja
Mogok kerja dapat dilakukan tanpa melakukan aksi unjuk rasa atau pawai (kegiatan penyampaian pendapat di muka umum). Aksi ini hanya dilakukandengan cara tidak berangkat kerja atau hanya aksi tidak bekerja di lokasi perusahaan. Untuk aksi seperti ini, maka cukup melakukan pemberitahuan tertulis kepada pihak pengusaha dan instansi ketenagakerjaan setempat dan tidak harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak Kepolisian sebelum kegiatan dilakukan.
Perlu diingat bahwa yang dibutuhkan dari pihak kepolisian apabila pekerja akan melakukan mogok kerja yang disertai dengan unjuk rasa adalah surat tanda terima pemberitahuan Surat Tanda Terima Pemberitahuan  (STTP), bukan surat izin. Artinya adalah pekerja cukup melayangkan surat pemberitahuan dan pastikan serah terima surat pemberitahuan dibubuhi tanda tangan oleh penerima surat di kepolisian. Hal ini penting apabila dikemudian hari pihak kepolisian tidak mau merespon surat tersebut atau tidak mau mengeluarkan STTP yang resmi, maka aksi tetap dapat berjalan dan sah.
Nah apabila mogok kerja dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pengusaha dan instansi terkait, maka pengusaha dan instansi terkait dalam rangka menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, dapat mengambil tindakan sementara sebagai berikut:
1.   melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
2.   bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Apabila dalam hal perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Tetapi apabila perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
Mogok kerja yang dilakukan tanpa memenuhi ketentuan UU Ketenagakerjaan adalah mogok kerja yang tidak sah. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah mengatur tentang mogok kerja yang dapat dikatagorikan sebagai tidak sah apabila dilakukan:
1.   bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
2.   tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
3.   dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau;
4.    isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf  a, b, c, dan d  UU Ketenagakerjaan.
Pengusaha, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, atau pihak lain tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai. Selain itu pengusaha, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, atau pihak lain juga dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku dan dilakukan secara sah, tertib, dan damai pengusaha dilarang untuk:
1.   mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
2.   memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Jenis-Jenis Pemogokan Kerja
Secara eksplisit, undang-undang Ketenagakerjaan tidak mengenal adanya macam-macam mogok. Nampaknya pemeruntah dalam membuat aturan menganggap sudah cukup definisi mengenai mogok sebagai patokan utama. Namun secara implicit jelas terlihat dari unsur nomor 5 diatas, bahwa pemerintah dalam menmbuat undang-undang menghendaki adanya pemogokkan yang ditujukan pada majikan saja, dan tuntutannya terbatas hanya mengenai persoalan di tempat kerja (ekonomis) belaka.
Diandaikan bahwa pemogokan adalah bagian dari relasi dua pihak saja: buruh-majikan. Persoalan lain di luar tempat kerja, tidak dianggap sebagai bagian dari mogok. Ini berbeda dengan prinsip-prinsip yang umum telah diterima di berbagai negeri modern dan beradab saat ini.
Komite Kebebasan Berserikat ILO (Committee on Freedom of Association) berpendapat bahwa pemogokkan dapat mengambil berbagai bentuk cara tanpa mengenal pembatasan: pemogokkan tiba-tiba, penghentian kerja, pelambatan kerja, pemogokkam rotasi, pemogokkan dengan menduduki tempat kerja, demonstrasi, bekerja hanya mengikuti aturan belaka, bekerja tanpa menggunakan alat, dan lain sebagainya.
Dilihat dari tujuannya, ada 3 jenis pemogokan, yaitu :
1.   Pemogokan soal ekonomi
Pemogokkan jenis ini hanya berfokus pada masalah-masalah pabrik saja.misalnya tuntutan kenaikan upah, sebesar 10% di dalam pabrik,atau mengenai penghapusan sistem kerja bergilir di dalam pekerjaan agar semua buruh dapat memperoleh jatah lembur. Pemogokkan jenis ini tidak mempermasalahkan soal-soal di luar pabrik. Tujuannya memang hanya terbatas pada kesejahteraan para buruh yang bekerja pada lingkungan pabrik tertentu. dari uraian sebelumnya, kita mengetahui bahwa hanya pemogokkan jenis inilah yang dikenal oleh undang-undang ketenagakerjaan.
2.   Pemogokan soal sosial-politik
Pemogokan jenis ini mengajukan tuntutan sosial dan ekonomi yang lebih luas, tidak hanya terbatas di dinding pabrik. Pemogokkan jenis ini menuntut perubahan kebijakan ekonomi-sosial negara, atau kebijakan lain yang mempengaruhi dan berdampak pada hidup buruh. Pemogokkan jenis ini menekankan bahwa buruh adalah bagian dari masyarakat umum. Bahwa serikat buruh hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, apa yang menjadi keprihatinan masyarakat disuarakan oleh srikat buruh.
Komite Kebebasan Berserikat ILO (Committee on Freedom of Association)  menjelaskan bahwa tujuan pemogokkan tidak hanya terbatas pada perjuangan untuk menuntut perbaikan kondisi kerja saja (soal ekonomi belaka). Pemogokkan dapat juga mempersoalkan, melancarkan kritik, atau berupaya mencari solusi atas persoalan kebijakan sosial-ekonomi pemerintah, yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada buruh. Jadi, pemogokkan buruh menentang program ekonomi pemerintah yang mendahulukan para konglomerat, misalnya, dapat juga dibenarkan.
Hal senada ditegaskan juga oleh Komite Ahli ILO (ILO Commitee of Experts) yang berpendapat bahwa hak mogok adalah hak esensial bagi buruh dan organisasinya dalam memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosial buruh. Kepentingan-kepentingan ini bukkan hanya berarti memperoleh perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan kerja, tetapi juga termasuk kepentingan buruh  dalam menuntut perbaikan kebijakan sosial dan ekonomi  yang berpengaruh pada kondisi buruh.
3.   Pemogokkan solidaritas (sympathy strike)
Pemogokan solidaritas adalah pemogokan yang dilakukan oleh serikat buruh untuk mendukung tuntutan serikat buruh lain dalam berhadapan dengan majikannya. Jadi, pihak yang dihadapi dalam pemogokkan jenis ini adalah majikan dari serikat buruh lain yang didukungnya. Mungkin saja serikat buruh tersebut kecil sehingga perlu dukungan dari serikat buruh lain. Dengan pemogokan solidaritas, hubungan antar serikat buruh diperat dan anggota menjadi merasakan betapa dirinya tidak berjuang sendirian.
Berbeda dari undang-undang ketenegakerjaan, undang-undang No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan mengenal dan mengakui adanya pemogokkasn solidaritas. Sayangnya, undang-undang ini dihapus keberlakuannya oleh Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Namun demikian, pemogokkan solidaritas dijamin oleh Konvensi ILO Nomor 87. Karena indonesia sudah meratifikasi konvensi ILO tersebut, maka secara teknis pemogokkan solidaritas mempunyaui dasar hukum keberlakuannya.
Komite Ahli ILO (Commitee of Experts) berpendapat bahwa pemogokkan solidaritas dapat dibenarkan mengingat situasi kondisi dunia sekarang, derasnya arus globalisasi dan perkembangan arah konsentrasi perusahaan. Contohnya, bahwa banyak pabrik perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara, dan akan sangat berguna apabila para buruh dari berbagai tempat atau lokasi pabrik dapat saling mendukung. Ditegaskan oleh mereka bahwa pelanggaran umum atas pemogokkan solidaritas sdapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan.
Membatasi pemogokan hanya pada pemogokan soal ekonomi saja adalah pengingkaran sekaligus pengebirian riwayat perjuangan serikat buruh Indonesia. Dari catatan sejarah dapat kita temukan bahwa serikat buruh Indonesia pada masa penjajahan Belanda tidak segan melakukan pemogokan menentang kebijakan politik kolonial. Riwayat serikat buruh Indonesia juga penuh dengan solidaritas, bahkan termasuk untuk mendukung perjuangan serikat buruh di negara lain. Bahkan bisa dikatakan serikat buruh adalah wahana bagi kaum pergerakan awal untuk “belajar” berorganisasi dalam organisasi sebuah “modern”. Melalui, antara antara lain, aksi-aksi mogok yang mereka lancarkan terhadap perusahaan-perusahaan milik pemerintah kolonial Belanda, serikat buruh memiliki peran untuk bangkitnya semangat nasionalisme di negeri ini, dengan puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

REFERENSI:
"Revitalisasi Mogok Kerja, Dalam Merubah Kebijakan Publik saat itu". Lembaga Bantuan Hukum ASPEK Indonesia. 2010-1-10.
Anonim. 2007. Buletin Corong Demokrasi FSPBI. Makassar.
Anonim. 2008. Koran Rakyat PRP. Jakarta
Daumas, François (1969). Ägyptische Kultur im Zeitalter der Pharaonen. p. 309.
Kepmenakertrans No. 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah
LBH Makassar. 2002. Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh. Makassar: Imaji Design.
TURC. 2005. A.BC. Hak-Hak Serikat Buruh. Jakarta: Trade Union Rights Centre.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar