Translate

Selasa, 03 September 2013

Ibnu Abbas



Shiroh Ibnu Abbas ra
Oleh: Wahyu Purhantara

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta beliau juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.`Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu Abbas r.a., ia adalah pribadi yang istimewa. Sejak kecil ia sudah membersamai Sang Nabi Saw. Ketika ia masih belia, pernah suatu saat di akhir malam ia sholat di belakang Nabi Saw. Lalu Nabi Saw menarik tangannya agar berdiri di dekatnya. Tapi setelah Nabi Saw kembali khusyuk dalam sholatnya, ia kembali mundur ke belakang. Usai sholat, Nabi Saw bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mundur padahal aku menyuruhmu berdiri di dekatku?” “Apakah patut seseorang sholat di dekatmu, sementara engkau adalah Rasulullah yang mulia?”, jawab Ibnu Abbas r.a.
Di tengah-tengah para sahabat, yang dikenal sebagai generasi terbaik, paling baik pemahamannya terhadap Kitabullah, terdapat pribadi-pribadi istimewa yang dianugerahi akal fikiran yang mengagumkan.  Di antara mereka ada yang telah mencapai puncak kematangan intelektual. Mereka hadir sebagai sosok yang memiliki kecemerlangan berpikir. Salah satunya adalah Ibnu Abbas r.a., putra dari Abbas, paman sang Nabi Saw.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjamaah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menghadiri majlis-majlis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendoakan beliau.
Nabi Saw kagum dan takjub dengan jawaban Ibnu Abbas r.a. Lalu dengan tulus Nabi Saw berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarilah ia takwil”. Bila Nabi Saw telah berdo’a, adakah ia tak diijabah oleh Allah Swt? Jika Nabi Saw memanjatkan pintanya, meminta kebaikan untuk seorang hamba, adakah yang lebih membahagiakan dari pada hal itu? Aduhai, sungguh beruntung Ibnu Abbas r.a.
Usia Ibnu `Abbas baru menjangkau 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:

“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku mampu saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.

Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas berbanding pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk menunjuk kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.
Setelah do’a Sang Nabi terucap, seakan-akan setelah hari itu kecerdasan hanyalah milik Ibnu Abbas. Ia menjadi ukuran kecerdasan di antara anak-anak seusianya. Tidak, lebih dari itu. Orang-orang dewasa pun menjadikan ia sebagai marja’ (rujukan). Pernah suatu ketika, ‘Umar bin Khaththab r.a. mengajak Ibnu Abbas r.a. ke sebuah majelis yang dihadiri orang-orang dewasa. “Mengapa anak kecil ini engkau bawa kemari wahai umar?”, kata salah seorang di dalam majelis tersebut. Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Umar malah menyampaikan firman Allah,  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3). “Bagaimana penafsiran ayat ini menurut kalian?”, tanya Umar.
Di antara mereka ada yang menjawab, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bertaubat kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan kemenangan”. Sebagian lagi menjawab, “Kami tidak tahu”. Lalu Umar melirik Ibnu Abbas sambil bertanya, “Beginikah penafsiranmu tentang ayat ini?” “Tidak”, jawab Ibnu Abbas. “Surat tersebut adalah pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat. Allah memberitahunya dengan ayatnya: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat”, tutur Ibnu Abbas. “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang engkau ketahui“, kata Umar.” [1]
Umar tahu betul kecerdasan Ibnu Abbas. Itulah sebabnya ia perlihatkan kecemerlangan berpikir Ibnu Abbas di hadapan orang-orang dewasa. Ibnu Abbas r.a. tumbuh menjadi pribadi yang istimewa. Ia bisa menangkap isyarat-isyarat makna Al-Qur’an, ia mengerti berkenaan tentang apa suatu ayat diturunkan, dan ia sangat paham penunjukan makna dalam bahasa Al-Qur’an. Seperti pengakuan Ubaidullah bin Utbah suatu saat. Ia pernah bertutur tentang Ibnu Abbas r.a., “Tidak ada yang tahu syair dan bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, hisab dan faraidh kecuali Ibnu Abbas.”
***
Ketika pemberontakan Khawarij pecah di Haruriyah, Ibnu Abbas r.a. meminta izin kepada Ali r.a. untuk pergi menemui kaum Khawarij dan mengajak mereka berdialog. Setelah Ali r.a. mengizinkannya, maka berangkatlah Ibnu Abbas. Ia sampai di Haruriyah tepat tengah hari, saat dimana mereka sedang tidur siang. “Selamat datang wahai Ibnu Abbas”, sambut salah satu dari mereka. “Apa yang membawamu kemari?”, tanya mereka. “Ceritakanlah kepadaku, apa yang membuat kalian dendam terhadap putra paman Nabi Saw dan sahabatnya (Ali)?”, tanya Ibnu Abbas.
“Sebabnya karena tiga hal”, jawab orang-orang Khawarij. “Pertama, Ali menghukum manusia tidak menggunakan hukum Allah, padahal Allah Swt berfirman, “Inil hukmu illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah).” [2]
“Yang kedua,” lanjut mereka, “dia berperang tetapi tidak mengambil tawanan dan ghanimah. Kalau mereka kafir seharusnya ia mengambilnya dari mereka, tetapi kalau mereka mukmin seharusnya mereka tidak boleh diperangi”. [3]
“Ketiga, dia menghilangkan sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, kalau demikian dia adalah Amirul Kafirin”.
“Apakah ada yang lain?”, selidik Ibnu Abbas r.a. “Tidak ada, cukup tiga saja”, jawab mereka. Dengan tenang dan tawadhu’ Ibnu Abbas bertanya kepada mereka, “Jika aku jawab persoalan ini dengan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Saw, apakah kalian mau menerima?” “Tentu saja”, jawab mereka. Begitu cerdas Ibnu Abbas, ia tahu siapa yang dihadapi. Orang-orang Khawarij, sebagian besar mereka adalah para qurra’ (penghafal Al-Qur’an). Untuk menghadapi para qurra’ ini, Ibnu Abbas mengerti betul caranya. Satu-satunya jalan untuk mematahkan argumentasi mereka adalah dengan mengemukakan dalil Al-Qur’an.
“Tentang masalah pertama”, terang Ibnu Abbas, “Allah Swt berfirman: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam [juru damai] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (TQS. An-Nisa: 35)”.
“Sekarang aku bertanya kepada kalian, mana yang lebih layak dan utama, mendamaikan permasalahan antara suami istri, atau berkenaan dengan pertumpahan darah orang banyak?”, tanya Ibnu Abbas retoris. “Tentu saja yang berkenaan dengan pertumpahan orang banyak”, jawab mereka. Di sinilah letak kecerdasan seorang Ibnu Abbas. Ia meluruskan pemahaman kaum Khawarij yang hanya berpegang pada teks (manthuq)-nya saja dalam memahami ayat Allah Swt tanpa memperhatikan mafhum (pemahaman dan maksud)-nya. Artinya, jika Allah memerintahkan untuk bertahkim dalam perselisihan rumah tangga, bukankah lebih utama lagi jika bertahkim dalam urusan yang melibatkan banyak orang? Jadi Ibnu Abbas r.a. hendak menunjukkan bahwa Ali r.a. telah mengambil langkah yang tepat. Sekaligus menunjukkan betapa cerdasnya Ali menangkap setiap mafhum dari ayat-ayat Allah.
“Masalah yang kedua”, lanjut Ibnu Abbas, “Ali berperang tetapi tidak mengambil tawanan dan ghanimah. Maka aku jawab, apakah kalian akan menawan ‘Aisyah r.a. sebagai ummul mukminin, ibunya orang-orang mukmin? Bukankah Nabi Saw telah bersabda, “Dan istri-istrinya adalah ibu mereka (orang-orang mukmin)”?
“Mengenai persoalan yang ketiga”, kata Ibnu Abbas, “Ali memang menghapus sebutan Amirul Mukminin saat peristiwa tahkim karena permintaan Mu’awiyah. Tetapi ingatkah kalian bahwa sesungguhnya Nabi Saw pada perjanjian Hudaibiyah juga menanggalkan sebutan “Rasulullah” atas permintaan orang-orang Musyrik?”, tutur Ibnu Abbas. “Meski demikian Rasulullah tetaplah Rasulullah, dan beliau lebih baik dari pada Ali. Demikian juga Ali, ia tetaplah Amirul Mukminin.” [4]
Sesaat kemudian, orang-orang Khawarij bungkam. Mereka menemukan kebenaran dalam setiap argumen Ibnu Abbas r.a. Ia berpikir dengan sangat brilian. Sedikit sekali sahabat Nabi Saw secemerlang Ibnu Abbas r.a. 4000 orang-orang Khawarij bertaubat.[5] Mereka kembali kepada kebenaran setelah berhadapan dengan sepupu Sang Nabi tersebut.
Ibnu Abbas telah mengajari kepada kita bagaimana seharusnya seorang mukmin berpikir, memupuk pemahaman, dan menyampaikan argumentasi. Pernah suatu ketika ia ditanya cara mendapatkan ilmu. Dengan begitu meyakinkan beliau menjawab, “Dengan lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak paham”. Sederhana memang. Tetapi itulah kuncinya. Kecemerlangan berpikir dan hebatnya argumentasi tidak datang dengan sendirinya, ia harus diusahakan. Kematangan intelektual pun tidak lahir dengan begitu saja, ia didapat setelah berlelah-lelah dalam ber-tafaqquh. Jika ingin memahami agama ini dengan baik, maka tirulah kepada Ibnu Abbas r.a., belajarlah kepada sepupu Nabi yang satu ini.[]
Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadith. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadith sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Abbas juga adalah seorang yang istiqamah dalam amalnya.Beliau kerap berjaga malam untuk beribadah dan juga selalu menangis apabila sedang solat dan membaca al-Quran. Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama. . Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad bin Hanafiah bin Ali bin Abi Talib.

Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, hadits no. 4294
[2] Yang dimaksud adalah peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.
[3] Perang yang dimaksud oleh orang-orang Khawarij ini adalah Perang Jamal yang terjadi antara kubu Ali r.a. dan kubu ‘Aisyah r.a.
[4] Kecerdasan Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa, Syeikh Ahmad Khubairi, hlm. 177-178.
[5] Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir VIII/278.

Shiroh Perang Badar



Shiroh Nabawiyah
KISAH PERANG BADAR
Oleh: Wahyu Purhantara

Perang Badar terjadi pada 7 Ramadhan, dua tahun setelah hijrah. Ini adalah peperangan pertama yang mana kaum Muslim (Muslimin) mendapat kemenangan terhadap kaum Kafir dan merupakan peperangan yang sangat terkenal karena beberapa kejadian yang ajaib terjadi dalam peperangan tersebut. Rasulullah Shallalaahu 'alayhi wa sallam telah memberikan semangat kepada Muslimin untuk menghadang khafilah suku Quraish yang akan kembali ke Mekkah dari Syam. Muslimin keluar dengan 300 lebih tentara tidak ada niat untuk menghadapi khafilah dagang yang hanya terdiri dari 40 lelaki, tidak berniat untuk menyerang tetapi hanya untuk menunjuk kekuatan terhadap mereka. Khafilah dagang itu lolos, tetapi Abu Sufyan telah menghantar pesan kepada kaumnya suku Quraish untuk datang dan menyelamatkannya. Kaum Quraish maju dengan pasukan besar yang terdiri dari 1000 lelaki, 600 pakaian perang, 100 ekor kuda, dan 700 ekor unta, dan persediaan makanan mewah yang cukup untuk beberapa hari.

Kafir Quraish ingin menjadikan peperangan ini sebagai kemenangan bagi mereka yang akan meletakkan rasa takut di dalam hati seluruh kaum bangsa Arab. Mereka hendak menghancurkan Muslimin dan mendapatkan keagungan dan kehebatan. Banyangkan, pasukan Muslimin dengan jumlah tentara yang kecil (termasuk 2 ekor kuda), keluar dengan niat mereka hanya untuk menghadang 40 lelaki yang tidak bersenjata akan tetapi harus menghadapi pasukan yang dipersiapkan dengan baik -3 kali- dari jumlah mereka. Rasulullah SAW dengan mudah meminta mereka Muslimin untuk perang dan mereka tidak akan menolak, akan tetapi, beliau SAW ingin menekankan kepada pengikutnya bahwa mereka harus mempertahankan keyakinan dan keimanan dan untuk menjadi pelajaran bagi kita. Beliau SAW mengumpulkan para sahabatnya untuk mengadakan musyawarah. Banyak di antara sahabat Muhajirin yang memberikan usulan, dengan menggunakan kata-kata yang baik untuk menerangkan dedikasi mereka. Tetapi ada seorang sahabat yaitu Miqdad bin Al-Aswad ra., dia berdiri dihadapan mereka yang masih merasa takut dan berkata kepada Rasulullah SAW,

"Ya Rasulullah (SAW)!, Kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh bani Israel kepada Musa (AS), 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu, kami duduk (menunggu) di sini'( Dalam surah Al-Maidah). Pergilah bersama dengan keberkahan Allah dan kami akan bersama dengan mu !".

Rasulullah SAW merasa sangat suka, akan tetapi Rasulullah hanya diam, beliau menunggu dan beberapa orang dari sahabat dapat mengetahui keinginan Beliau SAW. Sejauh ini hanya sahabat Muhajirin yang telah menyatakan kesungguhan mereka, akan tetapi Beliau menuggu para sahabat Anshor yang sebagian besar tidak hadir dalam baiat 'Aqaabah untuk turut serta dalam berperang melawan kekuatan musuh bersama-sama Rasulullah SAW di luar kawasan mereka. Maka, pemimpin besar sahabat Anshor, Sa'ad bin Muadh angkat bicara, "Ya Rasulullah (SAW) mungkin yang engkau maksudkan adalah kami". Rasulullah SAW menyetujuinya. S'ad kemudian menyampaikan pidatonya yang sangat indah yang mana dia berkata,

"Wahai utusan Allah, kami telah mempercayai bahwa engkau berkata benar, Kami telah memberikan kepadamu kesetiaan kami untuk mendengar dan thaat kepadamu... Demi ALlah, Dia yang telah mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau memasuki laut, kami akan ikut memasukinya bersamamu dan tidaka ada seorangpun dari kami yang akan tertinggal di belakang... Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan kepadamu yang mana tindakan kami akan menyukakan mu. Maka Majulah bersama-sama kami, letakkan kepercayaan kami di dalam keberkahan Allah".

Rasulullah sangat menyukai apa yang disampaikan dan kemudian beluai bersabda, "Majulah ke depan dan yakinlah yang Allah telah menjajikan kepadaku satu dari keduanya (khafilah dagang atau perang), dan demi Allah, seolah olah aku telah dapat melihat pasukan musuh terbaring kalah". Pasukan Muslimin bergerak maju dan kemudian berhenti sejenak di tempat yang berdekatan dengan Badar (tempat paling dekat ke Madinah yang berada di utara Mekkah). Seorang sahabat bernama, Al-Hubab bin Mundhir ra., bertanya kepada Rasulullah SAW, " Apakah ALlah mewahyukan kepadamu untuk memilih tempat ini atau ianya strategi perang hasil keputusan musyawarah?". Rasulullah SAW bersabda, "Ini adalah hasil strategi perang dan keputusan musyawarah". Maka Al-Hubab telah mengusulkan kembali kepada Rasulullah SAW agar pasukan Muslimin sebaiknya bermarkas lebih ke selatan tempat yang paling dekat dengan sumber air, kemudian membuat kolam persediaan air untuk mereka dan menghancurkan sumber air yang lain sehingga dapat menghalang orang kafir Quraish dari mendapatkan air. Rasulullah SAW menyetujui usulan tersebut dan melaksanakannya [*]. Kemudian Sa'ad bin Muadh mengusulkan untuk membangun benteng untuk Rasulullah SAW untuk melindungi beliau dan sebagai markas bagi pasukan Muslimin. Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra. tinggal di dalam benteng sementara Sa'ad bin Muadh dan sekumpulan lelaki menjaganya.

Rasulullah SAW telah menghabiskan sepanjang-panjang malam dengan berdoa dan beribadah walaupun beliau SAWmengetahui bahwa Allah ta'ala telah menjanjikannya kemenangan. Ianya melebihi cintanya dan penghambaannya dan penyerahandiri kepada Allah ta'ala dengan ibadah yang Beliau SAW kerjakan. Dan ianya telah dikatakan sebagai bentuk tertinggi dari ibadah yang dikenal sebagai 'ainul yaqiin.

Asma' binti Abu Bakar



ASMA’ BINTI ABU BAKAR
wanita berjiwa agung


Asma’ binti Abu Bakar, adalah contoh isteri yang baik. Ibu yang pemberani, dan wanita yang cerdas. Ayahnya, adalah khalifah pertama pengganti Rasulullah.
Suaminya, bernama Zubair bin Awwam, pembantu Rasulullah. Termasuk salah seorang sahabat yang diberitakan jaminan sorga. Meski waktu itu ayah Asma’ tergolong orang cukup berada, tetapi suaminya tergolong orang miskin yang tidak mampu membayar pelayan untuk mengu­rus kuda dan untanya.

Sejak kecil, Asma’ selalu dimanjakan oleh ayahnya. Ia mempunyai kedudukan tinggi di dalam rumah. Sebagai is­teri, ia sangat setia kepada suami. Bahkan selalu menyiap­kan makanan kuda dan unta sang suami. Menumbuk biji kurma sendiri, menimba air untuk keperluan rumah tangga dan memberi minum hewan miliknya. Asma’ sangat biasa mengangkut biji kurma di atas kepalanya dari tempat yang jauh, hingga kemudian ayahnya mengirim seorang sahaya perempuan yang menggantikan tugasnya merawat kuda dan unta.

Sebagai anak seorang khalifah, Asma’ selalu hidup zuhud dan’ pemurah. Selalu berbuat baik, dan tinggi kepedulian sosialnya. Pernah suatu ketika ia merasa sakit. Lalu segera membebaskan hamba sahaya perempuan pem­berian ayahnya sebagai sedekah. Dan sekaligus sebagai amal kebajikan. Karena memang, sebagian dari obat penya­kit adalah sedekah. Dan dia telah berwasiat kepada para wanita dan puteri-puterinya, “Keluarkan sedekah, dan ja­ngan menunggu hingga ada kelebihan.”
Selama berumah tangga dengan Zubair, ia telah mela­hirkan anak bernama Abdullah, Urwah, Ashim, Muhajir, Khadijah, Umu Hasan, dan Aisyah. Anak-anaknya, me­warisi sifat kepahlawanan ayahnya dan kemuliaan ibunya.

Mengirim Ke Gua
Asma’ hidup dalam usia yang panjang. Ia menyaksikan berbagai peristiwa, sejak pertama kali Islam diserukan, sam­pai mendapat tantangan, dan akhirnya memperoleh ke­jayaan. Jadi, susah payahnya Rasulullah dalam menyerukan Islam benar-benar telah ia hayati, karena Abu Bakar ayahnya adalah sahabat Nabi paling dekat.
 
Suatu hari Rasulullah datang ke rumah Abu Bakar. Dan kedatangan Rasulullah itu di luar kebiasaan. Asma’ melihat kedatangan Rasulullah, lalu bertanya,”Ayah dan ibuku men­jadi tebusanmu, ya Rasulullah. Mengapa anda datang di saat seperti ini?” Sambil berbisik, Rasulullah bersabda, “Allah telah mengizinkan aku untuk hijrah ke Madinah. Abu Bakar lalu menyiapkan dua kendaraan, satu untuk Rasulullah dan satunya lagi untuk Abu Bakar sendiri. Tanpa setahu orang Quraisy mereka berangkat. Mereka berjalan di tengah malam, dengan maksud menghindari gangguan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Dengan bekal secukupnya, mereka berlindung di sebuah gua di puncak jabal Tsaur. Begitu mencekamnya suasana di dalam gua. Karena perjala­nan mereka dibuntuti orang-orang Quraisy. Abu Bakar sem­pat cemas dan takut. Maka turunlah wahyu sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an ayat 40 Surat At-Taubah, “Janganlah kamu bersedih dan merasa takut. Sesungguhnya Allah beserta kita”.

Orang-orang Quraisy mengetahui kedua orang yang bersahabat itu meinggalkan Makkah. Tapi, tidak ada yang tahu dimana tempat persembunyiannya. Satu-satunya orang yang mengetahui tempat persembunyian Rasulullah dan Abu Bakar, adalah Asma’. Tetapi ia tetap meraha­siakannya. Bahkan secara rahasia pula, Asma’lah yang mengirim makanan dan minuman kepada dua orang yang bersahabat itu selama beberapa hari tinggal di dalam gua.

Sebagai gadis yang cerdas, Asma’ juga melakukan penyelidikan dan mencari informasi tentang situasi kota Makkah, yang sedang dikuasai orang-orang Quraisy. Dan mencari informasi pula tentang situasi kota Madinah, tem­pat dimana kaum Anshar siap menerima hijrah kaum muslimin. Tugas sebagai intel ini dibantu oleh Abdullah bin Abu Bakar, saudara lelakinya. Dan kemudian Asma’ sendiri yang meneruskan informasi itu kepada Rasulullah dan ayahnya yang berada di dalam gua.

Suatu hari, Abu Jahal mengetuk pintu rumahnya. Asma’ tahu maksud kedatangannya. Dan tahu persis akan kebengisan serta kekerasan tamunya. Sebagai gadis yang beriman, ia tidak gentar menghadapi Abu Jahal. Dengan penuh keimanan dan ketabahan, ia sambut kedatangan musuh bebuyutan Rasulullah itu. Lalu Abu Jahal menanya­kan di manakah Muhammad dan ayahnya berada. Asma’ menjawabnya dengan tegas, bahwa ia tidak tahu. Dengan beringas Abu Jahal mengulangi lagi pertanyaannya dengan disertai ancaman. Namun Asma’ tetap menjawab tidak tahu.

Habislah sudah kesabaran Abu Jahal menghadapi seorang gadis bernama Asma’. Dengan geram dia melayang­kan tamparan yang keras ke arah pipi Asma’ hingga anting­-antingnya terlempar. Tapi, Asma’ tetap merahasiakan tempat persembunyian Rasulullah dan ayahnya. Dengan memberi ancaman, Abu Jahal meninggalkan Asma’ yang terluka.
Peristiwa itu terdengar oleh telinga orang-orang Quraisy di Makkah. Bukan sekali itu Abu Jahal bertindak kejam dan bengis. Dulu, Sumayyah (ibu Ammar bin Yasir) juga mati ditusuk lembing oleh Abu Jahal, karena Su­mayyah menyatakan masuk Islam. Ia adalah wanita per­tama yang mati syahid dalam Islam. Untung sekali, hal itu tidak menimpa diri Asma’.

Atas jasa Asma’, Rasulullah dan Abu Bakar bisa sampai di Madinah dengan selamat. Kaum Anshar menyambut po­sitif kedatangan mereka, dan mendukung perjuangannya dengan jiwa, raga, dan harta. Tak lama kemudian, Asma’ menyusul ke Madinah bersama kaum muhajirin yang lain, dan kemudian tinggal di Quba’.
Di Madinah, Asma’ melahirkan seorang putera, ber­nama Abdullah. Lalu Asma’ membawa bayi itu menghadap Rasulullah, kemudian beliau meletakkannya di atas pangkuan, seraya mendoakannya. Abdullah adalah bayi pertama yang dilahirkan di dalam Islam, sesudah hijrah ke Madinah.

Buta Mata
Asma’ dikaruniai hidup panjang, walau matanya telah buta. Ia mengalami zaman pemerintahan Khulafaur-Rasyidin sampai dengan zaman pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, khalifah Bani Umayah. Ketika timbul pertikaian antara khalifah dengan putera Asma’ (Abdullah), Abdul-Malik menyerbu Hijaz dengan kebengisan panglima Hajaj. Pasukannya menyerang pelosok Umul-Qura. Bahkan meriam pelontar batu ditembakkan ke arah Abi Qubais un­tuk menghantam Ka’bah Baitullah.

Abdullah bin Zubair putera Asma’, terus maju melawan Hajaj, hingga ia ditinggalkan oleh kaum dan kerabatnya. Dan Hajaj sempat pula menjanjikan jabatan gubernur di Makkah, jika saja Abdullah mau meletakkan senjata dan membaiat Abdul-Malik sebagai khalifah.

Abdullah kemudian bermusyawarah dengan Asma’, ibunya. Namun sang ibu menasehati agar tidak menyerah, meski sudah ditinggalkan kaum dan kerabatnya. “Engkau berada dalam kebenaran, wahai anakku. Teruskanlah per­juanganmu. Karena jika engkau menyerah, maka akan dipermainkan oleh anak cucu Bani Umayah.” Tutur Asma’ kepada anaknya.

Merasa akhir hidupnya sudah dekat, maka Abdullah menyatakan kecemasannya kepada sang ibu atas pernyataan dan tekad dari musuhnya yang akan memotong-motong tubuhnya setelah dibunuh. Maka Asma’ menjawab; “wahai anakku Abdullah, sesungguhnya kambing yang disembelih tidak akan merasakan sakit ketika dikuliti.”

Dengan dorongan semangat itu, majulah Abdullah melanjutkan perang melawan Hajaj. Abdullah kalah, setelah tewas dibunuh, mayatnya di salibkan. Pada saat itu datanglah Asma’ menghampiri puteranya di tiang salib. Dengan mata yang buta, tangannya meraba jasad anak laki – lakinya dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Dengan hati dan lisan yang lantang ia berkata, “Tidakkah sudah tiba waktunya pengendara ini di turunkan.” Ujarnya mengejek kebengisan Hajaj.
(sumber : Namadzijul Mar-atil Muslimah)